Sungguh-Sungguh Menghadapi Ramadhan

‘Kita adalah para pemburu surga sekaligus buronan neraka. Maka sungguh teramat menakjubkan jika masih bias bersantai, bermalas dalam keinsyafan atasnya.’ (Imam Asy-Syafi’i)

Ketika kita menyambut untaian kata itu dengan bisikan halus dalam hati, “Ah.. itu kan Imam Asy Syafi’i. Ya iyalah, pantas.” Lalu akal kita menyambut nya, “Coba kalau Imam Asy Syafi’i hidup di zaman sekarang. Mungkin lain ceritanya. “

Masya Allah. Subhanallah. Astaghfirullah.

Kesadaran yang sesat dan tersesatkan. Engkau letakan di bagian mana Allah dalam hatimu.. ?
Naudzubillah stumma naudzubillah.

Al-Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : Barangsiapa yang memperbaiki batinnya, maka akan tersebarlah keutamaannya yang banyak dan hati akan terus menebarkan kebaikannya.

Maka hati-hatilah, jagalah batin kalian, karena jika batin telah rusak maka tidak akan bermanfaat lagi kebaikan amaliah yang tampak. (Shaidul Khathir I/206).

Berbincang tentang kesungguhan, kita harus memulai dari hati.

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.  (Qs. Al Baqarah ayat 183)

Setiap puasa Ramadhan datang setiap kita berbanyak ibadah mencari ridlo Allah dan puncaknya berharap mendapatkan ketaqwaan, sebagai tujuan puasa kita.

Mari sejenak berhitung untuk membandingkan puasa kita. Tentang keseriusan kita mendapatkan puncak pengalaman (peak experience) spiritual, yakni taqwa.

Maka dalam persoalan ini, sungguh rasa mendalam begitu malu bila puasa kita disandingkan dengan makhluk Allah yang bernama hewan. Umur kita sudah 40 th (ups.ada yang lebih muda yah). Lalu dikurangi masa baligh 15 th, maka kita sudah bertemu dengan puasa Ramadhan 25 kali. Atau 25 x 30 hari = 750 hari.

Jika diukur secara kuantitas kita kalah dengan puasanya hewan.

Ayam betina hanya dengan 21 hari telah sampai puncak kejayaannya menetaskan telur-telurnya. dan selama itu pula seluruh potensinya berpuasa bahkan tidak kemana-mana, dikerahkan semata-mata menetaskan telur.

Ular hanya butuh 21-40 hari dapat sampai pada titik pembaharuan ke awal kehidupannya.

Ulat cukup 14-16 hari berpuasa melakukan metamorphosis menjadi kupu-kupu nan indah yang dikagumi manusia.

Coba kita sudah berpuasa Ramadhan berapa kali?
Apa yang telah kita hasilkan dari puasa?
Sudahkah kita mencapai puncak pengalaman spiritual sebentuk taqwa?
Maka hendak mengatakan apa kita semua di hadapan Allah kelak????

Maka apakah puasa Ramadan kita selama ini sungguh karena (perintah) Allah, atau hanya karena ia sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat terinternalisasi sejak kita kanak-kanak)???

Seperti layaknya anak sekolah tidak mau bolos sekolah, karena sejak PAUD kita diajarkan untuk selalu masuk sekolah? Atau bahkan seperti otomatis ritmik kehidupan bangun tidur lalu mandi, karena sejak TK diajarkan lagu bangun tidur kuterus mandi? entahlah..

Nah ini dia bila itu semua sungguh terjadi. Tak salahlah kita melihat di sebagian kaum Muslimin yang seakan berpuasa tapi tidak lebih dari sekedar kebiasaan. Maka ada seseorang yang tetap berpuasa padahal ia asyik menggosip atau menggunjingkan orang, teman, atau ‘ngrasani’ dalam bathin mbatin.

Mereka akan tetap bukber, tarawih, dan mengaji tiap malam, sahur dan berpuasa hingga magrib, walau mata dan telinganya melihat dan mendengar hal tak senonoh, pikiran kita mengotori akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain hingga mencuri uang negara alias korupsi, lalu mendermakan sebagian kecilnya untuk infak, zakat, sumbangan masjid, panti asuhan, atau sekadar takjil gratis. Masya Allah.

Apa makna puasa bagi kita dan mereka?

Apa kesungguhan yang telah kita siapkan (targhib)?

Mari Temukan Kesungguhan Diri Dalam Ramadhan-NYA.

Tentang kesungguhan (jiddiyah). Syekh Abdullah Al Azzam pernah memberikan contoh tentang istilah semampunya (mastato’tum) yang mencerminkan sepenuh-penuh kesungguhan. Semampunya yang merupakan daya upaya yang kita kerjakan sampai Allah sendiri yang menghentikannya.

Suatu ketika sang syekh ditanya oleh seorang muridnya, “Ya syekh apa yang dimaksud dengan semampumu (mastato’tum). Syekh pun membawa muridnya ke lapangan dan meminta mereka mengelilingi lapangan semampu mereka. Startnya sama tapi finish dan jumlah putaran masing-masing berbeda.

Ada yang 3 kali putaran sudah kecapean dan menyerah ada yang lebih dari itu. Setelah muridnya sudah menepi untuk istirahat. Syekh pun gantian berlari.

Para murid pun kaget dan tidak tega melihat gurunya yang sudah tua lari mengelilingi lapangan, mereka berupaya menahan apa yang akan dilakukan syekh tapi tidak berhasil. Sang murid sudah melihat muka syeikhnya pucat pasi tanda kelelahan tapi sang murid hanya bisa berteriak dan memohon, Yaa syekh cukup!!!!,”  Saya tidak tega melihat yang syekh lakukan. Saya takut terjadi apa-apa sama syekh. “Hentikan syekh……Hentikan syekh.

Tapi syekh Abdullah al-azzam terus berlari dan pada akhirnya syekh pun jatuh pingsan. Para muridnya tambah panik dan berusaha membuat syekh Abdullah al-azzam terbangun. Beliau pun akhirnya siuman dan sadar. Beliau langsung mengatakan..

Inilah yang dinamakan semampu kita (mastato’ tum).
Kita berusaha maksimal sampai Allah sendiri yang akan menghentikan perjuangan kita.

Subhanallah. Allahu akbar

Puasa Ramadhan itu taklif (beban). Sejarah puasa ramadhan pertama kali dilakukan Rasulullah pada 2 hijriyah.

Perintah puasa ini diturunkan, QS. 2:183, setelah 15 tahun lamanya Rasulullah mendakwahkan Islam ini. 13 di Makah 2 th di Madinah. 15 tahun Rasul menyiapkan iman yang luar biasa. Karena itu QS. 2:183 dimulai dengan kalimat, tidak langsung. Ini mengandung pelajaran yang sangat mahal bagi kita, bahwa 15 tahun Rasulullah menyiapkan iman yang mendewasakan bagi para sahabatnya, sehingga siap menerima syariat. Taklif. Beban.

Sehingga saat dipanggil langsung nyaut (istijabah Al Fauriyah/ istijabah littanfidz; merespon dengan segera). Dan hasilnya elok menakjubkan.

Bagaimana dengan kita???

Pemateri: Ust. Umar Hidayat M. Ag.

(mz)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sungguh-Sungguh Menghadapi Ramadhan"

Post a Comment