Para pahlawan adalah manusia dengan segenap kemanusiaannya. Para ulama juga manusia dengan segenap kemanusiaannya. Pun para pemikir dan ideolog.
Sayyid Qutb juga demikian. Di balik nama besarnya sebagai seorang ideolog dan pemikir Islam, ia memiliki sejarah di masa mudanya yang sangat manusiawi. Di balik tulisan-tulisannya yang ideologis dan visioner, ia memiliki sejarah cinta yang mengiris-iris hati.
Sewaktu remaja, ada seorang gadis yang membuat Sayyid Qutb jatuh cinta. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu cantik untuk ukuran gadis di kampungnya, Musya, sebuah desa di provinsi Asyuth. Wajahnya biasa-biasa saja, namun ia memiliki sifat unik yang Sayyid Qutb sendiri tidak bisa menjelaskannya. Maklum, usianya saat itu baru menginjak 14 tahun.
Gadis itu pun sebenarnya juga menyukai Sayyid Qutb. Ia kagum dengan keberanian Sayyid Qutb. Sebab, remaja itu telah menunjukkan perlindungannya kepada anak-anak gadis yang digoda oleh remaja lain di kampungnya. Di sekolah, Sayyid Qutb juga berani melarang anak-anak yang berupaya menggoda siswi-siswi di sana.
Gadis itu masih kerabat jauh Sayyid Qutb. Keponakan dari istri pamannya. Terkadang, ia datang ke rumah Sayyid Qutb ingin bermain dengan adiknya, Aminah Qutb. Namun, Sayyid Qutb merasa ia datang untuk melihatnya. Ia merasa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Pada tahun 1920, Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk belajar. Ia meninggalkan kampungnya demi belajar. Ia juga harus rela tidak bertemu dengan gadis yang dicintainya demi menuntut ilmu.
“Tiba di Kairo,” tulis Dr Shalah Al Khalidy dalam Sayyid Qutb minal Milad ilal Isytihad, “hal pertama yang dilakukannya adalah menanyakan kabar gadis yang pertama singgah di hatinya itu.”
Namun, beberapa waktu kemudian Sayyid Qutb mendapatkan kabar yang mengiris hati. Gadis yang dicintainya itu menikah dan tinggal di pelosok kampung. Sayyid Qutb sempat menangis, namun sebuah takdir baru saja menjemputnya. Takdir unik yang kelak membuat namanya melegenda.
Sayyid Qutb tak lagi disibukkan dengan cinta hingga beberapa tahun kemudian. Itu pun berakhir dengan hal yang sama; patah hati. Lalu ia terus hidup sendiri hingga bersentuhan dengan dunia pemikiran Islam, lalu menjadi bagian dari pergerakan Islam bahkan menjadi ideolognya. Dalam kesendirian pula ia melahirkan puluhan karya dengan Fi Zhilalil Quran sebagai masterpiece-nya. Dalam kesendirian pula ia menemui Tuhannya. Syahid –insya Allah- dengan tersenyum di tiang gantungan. (dm)
Sayyid Qutb juga demikian. Di balik nama besarnya sebagai seorang ideolog dan pemikir Islam, ia memiliki sejarah di masa mudanya yang sangat manusiawi. Di balik tulisan-tulisannya yang ideologis dan visioner, ia memiliki sejarah cinta yang mengiris-iris hati.
Sewaktu remaja, ada seorang gadis yang membuat Sayyid Qutb jatuh cinta. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu cantik untuk ukuran gadis di kampungnya, Musya, sebuah desa di provinsi Asyuth. Wajahnya biasa-biasa saja, namun ia memiliki sifat unik yang Sayyid Qutb sendiri tidak bisa menjelaskannya. Maklum, usianya saat itu baru menginjak 14 tahun.
Gadis itu pun sebenarnya juga menyukai Sayyid Qutb. Ia kagum dengan keberanian Sayyid Qutb. Sebab, remaja itu telah menunjukkan perlindungannya kepada anak-anak gadis yang digoda oleh remaja lain di kampungnya. Di sekolah, Sayyid Qutb juga berani melarang anak-anak yang berupaya menggoda siswi-siswi di sana.
Gadis itu masih kerabat jauh Sayyid Qutb. Keponakan dari istri pamannya. Terkadang, ia datang ke rumah Sayyid Qutb ingin bermain dengan adiknya, Aminah Qutb. Namun, Sayyid Qutb merasa ia datang untuk melihatnya. Ia merasa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Pada tahun 1920, Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk belajar. Ia meninggalkan kampungnya demi belajar. Ia juga harus rela tidak bertemu dengan gadis yang dicintainya demi menuntut ilmu.
“Tiba di Kairo,” tulis Dr Shalah Al Khalidy dalam Sayyid Qutb minal Milad ilal Isytihad, “hal pertama yang dilakukannya adalah menanyakan kabar gadis yang pertama singgah di hatinya itu.”
Namun, beberapa waktu kemudian Sayyid Qutb mendapatkan kabar yang mengiris hati. Gadis yang dicintainya itu menikah dan tinggal di pelosok kampung. Sayyid Qutb sempat menangis, namun sebuah takdir baru saja menjemputnya. Takdir unik yang kelak membuat namanya melegenda.
Sayyid Qutb tak lagi disibukkan dengan cinta hingga beberapa tahun kemudian. Itu pun berakhir dengan hal yang sama; patah hati. Lalu ia terus hidup sendiri hingga bersentuhan dengan dunia pemikiran Islam, lalu menjadi bagian dari pergerakan Islam bahkan menjadi ideolognya. Dalam kesendirian pula ia melahirkan puluhan karya dengan Fi Zhilalil Quran sebagai masterpiece-nya. Dalam kesendirian pula ia menemui Tuhannya. Syahid –insya Allah- dengan tersenyum di tiang gantungan. (dm)
0 Response to "Kisah Cinta Pertama Sayyid Qutb"
Post a Comment